Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 19 Januari 2009

SUMBER TAFSIR

SUMBER TAFSIR
M. Yasin

Dilihat dari sumbernya tafsir dibagi dalam dua kerangka, yaitu riwayah dan dirayah.

I. Riwayah

Tafsir riwayah biasa dikenal degan sebutan al-ma’tsur atau al-manqul. Kata ma’tsur sendiri merupakan bentuk isim maf’ul dari kata atsara yang secara etimologis berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama). Al-atsar juga bisa berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan. Pada dasarnya kata-kata al-ma’tsur, an-naql, al-manqul, dan ar-riwayah mengacu pada satu makna yang sama, yaitu mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu. [1]

Dalam tradisi studi tafsir al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting dalam memahami sebuah teks dalam al-Qur’an. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Saw. merupakan penafsir pertama terhadap al-Qur’an.

Riwayah merupakan suatu proses penafsiran al-Qur’an yang menggunakan kumpulan data riwayat hadits dari Nabi Saw. dan para sahabat, sebagai variable penting dalam proses penafsiran al-Qur’an. Kerja riwayat sendiri adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan para sahabat.

Di sini para Ulama belum mendapat kesepakatan tentang batasan tafsir riwayah. Zarqani, misalnya, membatasi tafsir riwayah dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang disuguhkan oleh ayat al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan para Sahabat dengan tidak memasukan tabi’in. pendapat ini berbeda dengan Adz Dzahabi yang memasukan tabi’in dalam kerangka tafsir riwayah. Sedang Ali Ashabuni nampak lebih fokus pada material tafsir bukan pada metodenya, yaitu dengan bersumber dari al-Qur’an, Sunnah dan perkataan sahabat. Karya tafsir paling monumental yang dilahirkan dari variable ini diantaranya adalah Tafsir Ath Thabary karya Thabari dan Tafsir Qur’an Azhim karya Ibn Katsir.

Tafsir riwayah, khususnya tafsir al-quran dengan al-quran dan al-quran dengan sunnah Nabawiyyah oleh kebanyakan ulama tafsir disebut sebagai tafsir yang berkualitas dan paling tinggi kedudukannya. Ibn Taimiyah (661-728 H/1262-1327 M) dan Ibn Katsir (701-774 H/1301-1372 M) menyatakan sekiranya ada orang yang bertanya tentang cara penafsiran al-quran yang terbaik, jawaban yang paling tepat ialah menafsirkan al-quran dengan al-quran. Jika pada sebagian ayat al-quran ada yang mujmal (global), pada sebagian lainnya akan dijumpai uraian yang realtif lebih rinci. Ketika seseorang tidak menjumpai (keterangannya) dalam al-quran, hendaknya ia berpegang pada Sunnah karena Sunnah berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas al-quran. [2]

Meskipun tafsir riwayah memiliki kedudukan tersendiri di kalangan ulama tafsir. Namun ia tidak lepas dari kekurangan, paling tidak menyangkut hal-hal tertentu ketika dikaitkan dengan tafsir al-quran yang diwarisi dari sahabat dan tabi’in. kekurangan tersebut diantaranya,

1. mencampuradukan antara yang shahih dan tidak shahih seperti yang dapat dikenali dari berbagai informasi yang sering dinisbatkan kepada para sahabat dan tabi’in tanpa memiliki rangkaian sanad yang valid sehingga membuka peluang bagi kemungkinan bercampur antara yang hak dan bathil.

2. terdapat kisah-kisah israiliyat yang penuh khurafat.

3. sebagian pengikut madzhab tertentu acapkali mengklaim pendapat mufassir tertentu, misalnya tafsir ibn Abbas, tanpa membuktikan kebenaran yang sesungguhnya.

4. sebagian orang zindiq kadang menyisipkan (kepercayaannya) melalui sahabat dan tabi’in sebagaimana halnya melalui Rasulallah Saw. dalam Hadits Nabawiyyah. Tindakan ini sengaja dilakukan untuk menghancurkan Islam.

II. Dirayah

Sedangkan sumber kedua adalah dirayah. Tafsir ini berkembang pesat pada abad ke 3 H, dimana peradaban Islam mulai melebar dan madzhab di kalangan Islam sudah mulai lahir. Teks al Qur’an ditafsirkan dalam kerangka corak kepentingan dan idiologi masing-masing madzhab, baik itu filsafat, teologi, sosiologi dan lain sebagainya. Dirayah sendiri adalah penjelasan-penjelasan yang berpegang pada akal, ijtihad dan kiyas.[3]

Para ulama berbeda pendapat mengenai variable terakhir ini. Disisi lain menolak keras dan di lain pihak menerima dengan berbagai syarat yang diajukan. Namun terakhir ada juga yang menerima tanpa ada syarat sama sekali.



[1] ibid, hlm. 58

[2] ibid, hlm. 66

[3] Dr. Muhammad Husain Adz Dzahabi, Tafsir wa Mufassirun, Maktabah Wahbah, Mesir, 2003, hlm. 183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar