THURUQ TAFSIR
M. Yasin
Turuq tafsir merupakan langkah yang harus dilalui oleh seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an secara ideal, Syekh Yusuf al Qardhawi menawarkan karakteristik ideal yang diharapkan sesuai dengan kaidah yang diakui oleh para ulama dan pada saat yang sama dapat mengiringi ritme perkembangan zaman. Urutan turuq tafsir yang ideal menurut beliau adalah sebagai berikut :M. Yasin
Pertama, menggabungkan antara riwayah dengan dirayah. Pola tafsir seperti ini dilakukan dengan mengkombinasi antara tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al- ra’yi. Hal itu dilakukan guna menghindari kebiasaan para mufassir yang selama ini hanya memperhatikan riwayat dan atsar di satu pihak dan di pihak lain ada yang hanya memikirkan dirayah dan olah pikir saja.
Kedua, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. al-Qur’an merupakan sebuah kesatuan yang integral, dimana bagian-bagiannya membenarkan dan menafsirkan bagian yang lain. hal ini sesuai dengan firman Allah SWT., “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (Q.S. an Nisa : 82)
Ketiga, menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah yang sahih. Sunnah Nabi Saw. harus dipahami sebagai penjelas al-Qur’an dan yang menerangkan makna-makna yang dikandungnya, sehingga menafsirkan al-Qur’an pun dapat dilakukan dengannya. Imam Syafi’I rahimahullah pernah berkata, “Semua hukum yang ditetapkan oleh Rasulallah Saw merupakan hasil dari pemahaman beliau terhadap al Qur’an”
Keempat, memanfaatkan tafsir sahabat dan tabi’in. pendapat ini didukung oleh kesimpulan bahwa para sahabat adalah “produk” tarbiyah Rasulallah Saw. maka jika kita mendengar suatu tafsir yang sohih dari sahabat, kita memberi perhatian padanya karena mereka menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan latar belakangnya. Di samping juga penguasaan mereka terhadap bahasa Arab, pemahaman mereka yang benar, fitrah yang lurus dan keyakinan mereka yang kuat, terutama jika mereka berijma atas suatu penafsiran.
Kelima, mengambil kemutlakan bahasa Arab. Karena al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, maka kita mesti menafsirkan lafadznya sesuai dengan asli yang dikandung kalimat Arab dan penggunaannya, dan yang sesuai dengan kaidah-kaidah serta retorika al-Qur’an yang penuh kemukjizatan.
Keenam, memperhatikan konteks redaksional ayat. Hal ini dengan memperhatikan konteks redaksi suatu ayat di tempatnya dalam suatu surah dan konteks redaksional suatu ayat. Kita harus mengaitkan ayat dengan konteks yang menyertainya dan tidak memutuskannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya untuk kemudian diseret dan dipaksa memberikan suatu makna atau mendukung suatu ketetapan yang dikehendaki oleh sang mufassir.
Ketujuh, memperhatikan asbabun nuzul. Kesimpulan ini dikonklusikan dari keyakinan bahwa mengetahui sebab dan kondisi yang menyertai turunnya suatu nas akan membantu kita memahami teks ayat tersebut dengan baik dan mengetahui maksud yang dikandungnya.
Kedelapan, meletakan al-Qur’an sebagai referensi utama. Orang yang menafsirkan al-Qur’an, terlebih dahulu harus membersihkan dirinya dari keyakinan dan pemikiran-pemikirannya yang dahulu, untuk kemudian membuka dirinya dan bersiap menerima pemahaman-pemahaman dari al-Qur’an serta mengkuti petunjuk yang diberikannya. Ia harus memandangnya sebagai referensi primer, pegangan utama, pijakan dasar dan pemberi keputusan baginya ketika ia menghadapi suatu problematika. Al-Qur’an harus menjadi panutan bukan pengikut, pemberi keputusan bukan hukum yang dihukumi, dan pokok bukan cabang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar