M.Yasin
I. tafsir secara bahasa
Secara etimologi, tafsir berarti menjelaskan (al-idhah), menerangkan (al-tibyan), menampakan (al-izhar), menyibak (al-kasyf) dan merinci (al-tafshil). Kata tafsir terambil dari kata al-fasr yang berarti al-ibanah dan al-kasyf yang keduanya berarti membuka (sesuatu) yang tertutup (kasyfu al-mughaththa). Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa kata tafsir terambil dari kata at-tafsirah, dan bukan dari kata al-fasr yang berarti “sebutan bagi sedikit air yang digunakan oleh seorang dokter untuk mendiagnonis penyakit pasien”.
Ar-Raghib al-Asfahani (502 H/1108 M) menyatakan bahwa kata al-fasr dan al-safr memiliki kedekatan makna dan pengertian karena keduanya memiliki kemiripan lafal. Hanya, lanjut ar-Raghib, kata al-fasr lazim digunakan untuk menjelaskan sebuah konsep atau makna yang memerlukan penalaran (al-ma’na al-ma’qul), sementara kata al-safr biasa digunakan untuk menampakan benda-benda fisik-materi yang bisa dikenali oleh mata kepala pancaindera. [1]
II. Tafsir secara istilah
Pengertian tafsir secara istilah menurut al-Kalby di dalam kitabnya at-Tashil “mensyarhakan al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najuannya”. Sedangkan menurut az-Zarkasyi di dalam kitab Burhannya “menerangkan makna-makna al-quran beserta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya”. Menurut hakikatnya tafsir ialah “mensyarahkan lafadz yang sulit dipahami oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya atau yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui beberapa petunjuk” seperti yang diungkapkan asy-Syikh Thahir al-Jazairi.[2]
III. Perbedaan tafsir dan takwil
Kalimat tafsir di dalam al-quran hanya terdapat pada
Sebagian ulama mengatakan bahwa tafsir dan takwil memiliki kesamaan arti seperti apa yang diyakini oleh Abu Ubaidah. Namun hamper semua ulama mengatakan bahwa tafsir dan takwil memiliki perbedaan. Ar-Raghib berpendirian bahwa makna tafsir lebih umum daripada takwil, atau sebaliknya, makna takwil lebih khusus daripada tafsir. Istilah tafsir lebih banyak digunakan dalam konteks lafal dan makna mufradat, sedangkan penggunaan takwil lebih banyak dihubungkan dengan persoalan makna (isi) dari rangkaian pembicaraan secara keseluruhan (utuh). Menuryt al-Thabarsi (hidup pada awal abad enam Hijriah), tafsir adalah upaya menyibak pengertian dari lafal yang musykil, sedangkan takwil adalah upaya mengembalikan salah satu dari dua makna yang dimungkinkan kea rah pengertian yang lebi sesuai dengan makna lahir.
Abu Thalib al-Tsa’labi: “Tafsir adalah menerangkan objek lafal (redaksi teks) dari sisi pandang hakiki atau majazi. Misalnya, menafsirkan kata ash-shirath dengan ath-thariq, yakni jalan dan kata ash-shayyib dengan kata al-mathar, yakni hujan. Takwil bermaksud menafsirkan substansi teks (bathin al-lafzh)”. Jadi, dapat dikatakan bahwa takwil lebih berorientasi pada pengabaran tentang hakikat sesuatu yang dikehendaki, sedangkan tafsir lebih mengedepankan berita-informasi tentang dalil (petunjuk) yang dikehendaki. Alasannya, lafallah yang menyibak tentang apa yang dikehendaki itu, sedangkan upaya menyibak itu sendiri dinamakan dalil (yang menunjukkan).
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tafsir lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat pendengaran atau periwayatan (riwayah), sedangkan takwil lebih banyak dikorelasi dengan hal-hal yang bersifat penalaran (dirayah). Abu Nashr al-Qusyairi menyatakan bahwa tafsir hanya terbatas pada ayat-ayat Alquran yang lebih mengandalkan sumber-sumber penglihatan dan pendengaran (al-ittiba’ wa al-sima’). Ini berbeda dengan takwil yang pemahamannya lebih banyak bergantung pada hal-hal yang bersifat ijtihad (al-isthimbat). Dengan kalimat lain, tafsir lebih banyak mengacu pada riwayah (pendengaran), sedangkan takwil pada dirayah (analisis).[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar