Tafsir al-Bayan karya T.M. Hasbie ash-Shidiqie
(Kajian Tafsir di Indonesia)
Oleh : Zulkarnain al-Maidaniy
A. Pendahuluan
Dari segi Generasi, Howard M. Federspiel pernah melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir Al-Qur'an di Indonesia, yang didasarkan pada tahun, dalam tiga generasi. Generasi pertama, kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an. Dalam era ini telah ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir. Generasi kedua, merupakan penyempurnaan atas generasi pertama, yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an. Cirinya, biasanya mempunyai beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata, dan kadang-kadang disertai dengan indeks yang sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai muncul pada 1970-an merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang disertai juga dengan terjemahannya.
Tafsir al-Bayan (Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1966) karya TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, sebagaimana kategorisasi yang disusun oleh Howard M. Federspiel masuk pada generasi kedua, merupakan tafsir hasil dari penyempurnaan karya terdahulu, tafsir an-Nur yang hanya cukup menerjemahkan ayat dan menafsirkannya untuk memenuhi lafadh yang ada saja. Karena tidak puas terhadap karya tafsir pertama, beliau lalu menulis tafsir yang kedua, yaitu tafsir al-Bayan.
B. Analisis Kajian.
1. Unsur Metode.
Metode yang ditempuh oleh Hasbi Ash-Shidieqiy dalam tafsir al-Bayan, dapat terlihat pada penuturannya pada lembaran pertama yang memuat kaidah-kaidah penafsiran beliau, yaitu:
• Menterjemahkan makna lafazh dan menterjemahkan kalimat-kalimat yang ditakdirkan, baik di awal ayat, di pertengahannya, maupun di akhirnya.
• Menterjemahkan kalimat-kalimat yang mempunyai dua terjemahan dengan lengkap.
• Menterjemahkan lafazh-lafazh yang ditakdirkan, atau yang merupakan kalimat-kalimat pelancar.
• Menterjemahkan makna ayat yang dapat diterjemahkan labih dari satu macam, lantaran berlainan i'rab.
• Menerangkan pendapat-pendapat ulama di dalam memaknakan sesuatu ayat, atau kalimat yang berbeda-beda, di tempat-tempat yang saya pandang perlu dan penting diberi perhatian.
Jika melihat apa yang telah dituturkan oleh beliau, kita dapat segera mengambil kesimpulan, bahwa tafsir al-bayan menggunakan metode ijmali dalam uraiannya. Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlah. Jadi, tafsir al-ijmali ialah penafsiran al-qur'an dengan cara mengemukakan isi dan kandungan al-qur'an melalui pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci. Pembahasan tafsir al-ijmali hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa yang sangat singkat. Biasanya lebih mengedepankan arti kata-kata (al-mufradah), sabab an-nuzul dan penjelasan singkatnya. Adakalanya juga mengedepankan al-mufradat, lalu sabab an-nuzul dan al-ma'na, atau mendahulukan al-ma'na dan sabab al-nuzul. Dalam tafsir al-Bayan, metode ijmali sangat kuat sekali, ini terbukti ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat ke-2, "ini, adalah Al-Kitab (Al-qur'an) yang sempurna, tak ada yang diragukan tentang kebenaran isinya; yang memberikan petunjuk kepada para muttaqiin". Dalam catatan foot note dituliskan, "Dzalika, disini dapat diartikan 'ini'. Orang Arab mempergunakannya untuk ini dan itu. Jika diartikan dengan 'itu', padahal al-Qur'an ada di hadapan kita, maka adalah untuk ta'zhim”. Hanya sampai di sana saja, cukup ringkas dan tidak bertele-tele. Terkadang juga, dalam menjelaskan arti suatu lafazh, beliau memaparkan makna secara bahasa yang kemudian di sambung dengan berbagai pendapat para ulama dalam mengartikan lafazh tersebut, seperti tatkala menguraikan lafazh 'iblis' dalam surat al-Baqarah ayat 34 pada catatan kaki no. 52 hal 193. Pada aspek asbab an-nuzul, beliau tidak terlalu memberikan penekanan yang berarti, maksudnya bahwa tidak setiap ayat yang memiliki asbab an-nuzul beliau cantumkan dalam tafsirnya, hanya pada beberapa tempat saja beliau memaparkannya. Seperti dalam al-Baqarah ayat 14, beliau tidak mencantumkan asbab an-nuzul, padahal ada riwayat dari imam al-Wahidiy dan ats-Tsa'labiy yang menceritakan asbab an-nuzul ayat tersebut. Begitu juga dalam surat Ali-Imran ayat 12, beliau tidak menyinggung sedikitpun sabab an-nuzul ayat tersebut, padahal dalam Sunan Abu Daud dan al-Baihaqiy dalam kitabnya 'Ad-Dalail' dari jalan Ibnu Ishaq diceritakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan tentang kekalahan kaum Quraisy dalam perang Badr yang ditentang oleh kaum Yahudi bahwa kekalahan kaum Quraisy disebabkan mereka tidak mengerti akan strategi perang, tetapi jika kaum muslimin dihadapkan kepada orang-orang Yahudi, belum tentu kemenangan akan mereka raih. Kadang-kadang beliau mencantumkan sabab an-nuzul hanya mengambil semangatnya saja tanpa menerangkan secara detail jalan periwayatannya, hal ini sebagaimana terlihat tatkala menjelaskan tafsir surat al-Baqarah ayat 114 dalam catatan kaki no. 136, "Yakni : orang-orang musyrik akan memasuki al-Masjidil Haram dengan rasa ketakutan. Ayat ini dihadapkan kepada orang-orang musyrikin yang mengusir Nabi dari Mekkah dan mencegah Nabi bersembahyang dalam masjidil haram serta menghadang Nabi masuk ke Mekkah pada tahun Hudaibiyyah". Penjelasan ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh as-Suyuthi dalam 'Lubab an-Nuqul' dengan mengutip riwayat Ibnu Jarir melalui jalur periwayatan Ibnu Zaid. Metode penafsiran ijmali yang ditempuh oleh Hasbie ash-Shidiqie ditegaskan oleh beliau dalam pengantar tafsirnya, "Jelasnya, terjemahan saya lakukan adakalanya bersifat menterjemahkan lafazh ayat saja, adakalanya menterjemahkan makna ayat, yaitu: dengan memasukkan ke dalam terjemah lafazh, makna yang harus ditakdirkan (harus dipandang ada).
2. Sumber.
Sepanjang analisis yang penulis lakukan, sepertinya penyusun tafsir al-Bayan, Hasbie ash-Shidiqie mencoba untuk mengkolaborasikan/ memadukan dua sumber penafsiran, yaitu tafsir bir riwayat dan tafsir bi dirayah. Nuansa tafsir riwayat terlihat sebagaimana penuturannya pada pengantar tafsir, "Untuk membedakan antara ayat-ayat yang sebanding dengan ayat yang ada hubungannya dengan penafsiran ayat......., sedang ayat-ayat yang ada hubungannya dengan tafsir ayat, diawali dengan : "bacalah (perhatikan) ayat: .......". Metode tafsir riwayat, yaitu diantaranya tafsirul qur'an bil qur'an ini terlihat tatkala menafsirkan ayat 82 dari surat al-An'am, " Segala mereka yang telah beriman dan tiada mencampuri iman mereka dengan sesuatu kezaliman ...", yang dimaksud suatu kezaliman diterangkan dalam catatan kaki no. 867, "Ya'ni : Syirik, baca ayat 13 surat 31 (Lukman). Tafsir tersebut sesuai dengan apa yang direkam oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari jalur periwayatan Qutaibah, yaitu tatkala para sahabat merasa gelisah dengan turunnya ayat 82 surat al-An'am tersebut karena merasa sulit untuk menghindari perbuatan zhalim, lalu Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud zhalim dalam ayat tersebut adalah perbuatan syirik. Begitu juga dalam ayat 36 surat an-Nisa, "Dan sembah olehmu Allah, janganlah kamu memperserikatkan sesuatu dengan Dia dan berbuat ihsanlah kepada kedua ibu bapak ...", dalam catatan kaki untuk ayat tersebut no. 555, beliau menuliskan : "baca : ayat 14 surat 31 (Lukman), ayat 23 surat 17 (al-Isra)". Kedua ayat tersebut semangatnya sama dengan ayat 36 surat an-Nisa diatas. Hanya disayangkan, penafsiran ayat dengan ayat (tafsirul qur'an bil qur'an) yang beliau tempuh banyak terjebak pada penafsiran hasil pemikiran beliau, tanpa didukung dengan sumber riwayat yang terpercaya yang benar-benar mendukung akan tafsir tersebut. Nuansa tafsirul ayah bis sunnah dalam tafsir al-Bayan ini juga mendapat apresiasi yang cukup, seperti terlihat tatkala menafsirkan surat al-Fatihah ayat ke-7, " Yang bukan jalan orang-orang yang dibenci ...", ditafsirkan dalam catatan kaki no. 12, "ya'ni: orang-orang yang menyimpang dari jalan raya Islam, baik mereka dari agama Yahudi maupun dari agama lain". Sama seperti penjelasan Rasul tentang ma'na "al-maghdlub 'alaihim" adalah orang-orang Yahudi sebagaimana riwayat Abd bin Humaid dari ar-Rabi' bin Anas. Hanya dalam beberapa tempat, Hasbie tidak menyebutkan sunnah yang menjelaskan lafazh tertentu pada suatu ayat, seperti dalam surat al-Insyiqaq (84) ayat 7-8 yang luput dari perhatiannya, padahal Nabi ada menjelaskan lafazh 'uthiya' dengan menampakkan perbuatan dan lafazh 'yuhasabu' dengan arti disiksa. Untuk tafsirul ayat bi qaul shahabi, ini dapat terlihat tatkala menafsirkan surat an-Naml ayat 8, "Sesungguhnya aku melihat nyala api ...", beliau mengutip pendapat Ibnu Abbas dalam catatan kaki no. 2040 bahwa yang dilihat oleh Musa adalah suatu sinar, bukan api. Tetapi sepanjang penelitian penulis, kecenderungan tafsir dirayah sangat terlihat sekali dalam tafsir al-Bayan ini. Dalam banyak ayat beliau menjelaskan makna ayat bersumber dari pemikirannya. Terkadang juga beliau mengutip pendapat mufassir zaman klasik dan pertengahan seperti Fakhrudin ar-Razi dan Ibnu Katsir, juga pendapat mufassir mutaakhir seperti Rasyid Ridla dan Muhammad Abduh. Tafsir al-Qashimiy juga tidak luput dari sumber rujukannya. Untuk lebih memberikan bobot pada tafsirnya, tidak jarang beliau menganalisis dari segi bahasa dengan mengutip pendapat ahlinya, seperti ar-Raghib al-Ashfahani seperti tatkala menjelaskan kata hikmah.
3. Pendekatan.
Pengertian pendekatan tafsir disini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan: (1) berorientasi pada teks dalam dirinya yang kemudian disebut pendekatan tekstual dan (2) berorientasi pada konteks pembaca (penafsir), yang kemudian disebut pendekatan kontekstual. Tafsir al-Bayan, buah karya Prof. TM Hasbie ash-Shidiqie, sangat terlihat tekstual sekali. Ini terlihat bahwa penafsir lebih berorientasi pada teks dalam dirinya, cenderung bersifat kearaban karena teks al-Qur'an turun pada masyarakat Arab yang artinya masyarakat Arab sebagai audiensnya. Hal itu lebih ditegaskan bahwa, tatkala menafsirkan suatu ayat, Hasbie tidak memberikan ruang untuk pengalaman lokal ( sejarah dan budaya) dimana dia hidup tatkala menjelaskan suatu ayat. Analisis tafsirnya cenderung bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks) dimana ayat tersebut turun, yang ujung-ujungnya bermuara pada konteks kearaban. Seperti terlihat dalam penafsiran surat al-A'raf ayat 96, "Sekiranya penduduk kota-kota –yang telah dibinasakan- beriman dan bertakwa tentulah Kami mudahkan bagi mereka segala kebajikan langit dan bumi ...", dalam catatan kaki, beliau menuliskan, " Ayat ini memberi pengertian bahwa penduduk kota yang beriman berjumlah kecil, tidak seluruhnya. Hanya penduduk kota Yunus yang beriman semuanya. Konteks ayat hanya berhenti samapai disana saja, tidak dieksplor lebih jauh, minimal zaman dimana beliau hidup yang mempunyai dinamika tersendiri yang cukup menarik perhatian bagi yang menginginkan perbaikan (maslahat) dan perubahan. Di ayat lain, tepatnya tatkala menafsirkan surat ar-Ruum ayat 41, "Telah lahir kerusakan di darat dan di laut disebabkan dosa-dosa yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia ...", dalam catatan kaki no. 2152, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah berjangkitnya berbagai-bagai kesukaran dan kemaksiyatan. Tafsir tersebut sangat lepas dengan dimensi ruang dan waktu dimana mufassir tersebut hidup.
4. Relevansi Metodologi Penafsiran.
Beberapa aspek kajian ulumul Qur'an yang beliau terapkan dalam Tafsir al-Bayan cukup mendapatkan apresiasi yang memadai. Ilmu munasabah, khususnya munasab bainas suwar tidak pernah beliau lewatkan, sekalipun dengan penjelasan yang cukup global. Seperti tatkala menerangkan hubungan surat Ali Imran dengan surat al-Baqarah, "Surat ini sebagaimana surat yang telah lau dimulai dengan menerangkan tentang al-Qur'an dan keadaan manusia dalam mengambil petunjuk dengan al-Qur'an itu. (1) dalam surat yang telah lalu diterangkan orang yang beriman kepada al-Qu'an, orang yang tidak beriman dan orang yang mudzabdzabah (munafik). Dalam surat ini Tuhan menerangkan kaum yang tidak lempang perjalanannya, mengikuti hawa nafsu untuk menimbulkan fitnah, dan yang kokoh ilmunya lagi mengimani ayat-ayat muhkamah dan mtasyabihah yang semuanya itu dari Allah Swt. (2) Di dalam surat al-Baqarah, Tuhan memperingatkan kita dengan kejadian Adam, sedang dalam surat Ali-Imran ini Tuhan memperingatkan kita dengan kejadian Isa. Dasar penyerupaan antara keduanya, ialah kedua-duanya dijadikan tidak menurut sunnah yang dilazimkan dalam menjadikan makhluk insan. (3) dalam kedua-dua surat ini Tuhan menantangi Ahlul Kitab. Dalam surat al-Baqarah Tuhan memanjangkan uraian dalam menantang bangsa Yahudi dan memendekkan penerangan dalam menantang orang Nashrani. Dalam surat Ali-Imran ini sebaliknya. Hal itu adalah karena kaum Nashrani terkemudian ujudnya dari bangsa Yahudi. Maka pembicaraan mengenai merekapun dikemudiankan. (4) Di akhir masing-masing surat ...". adapun munasabah bainal ayah, sepanjang penelitian penulis, tidak ditemukan ditengah-tengah penjelasan antara ayat yang satu dengan ayat lainnya.
Aspek Sabab an-Nuzul pada dasarnya juga mendapat porsi yang cukup signifikan, hanya kadang-kadang beliau menyebutkan secara implisit dengan tidak menerangkan riwayat yang menjadi rujukannya, tetapi bila kita mencoba untuk mencocokkan, niscaya kita akan mendapatkan padanannya pada riwayat yang terpercaya, seperti pada tafsir surat al-Ahzab ayat 36, " Dan tiada patut bagi seseorang mukmin dan mukminah memilih tentang urusan mereka, sesuatu hukum yang lain ...", dalam catatan kai no. 2206 disebutkan, "Ayat ini diturunkan di ketika Nabi meminang Zainab untuk Zaid, ...". dalam Lubabun Nuqul, as-Suyuthi menyebutkan sumber tersebut didapati pada Imam Thabraniy dengan sanad yang shahih dari jalan Qatadah.
C. Penutup
Tafsir al-Bayan yang menjadi garapan penulis untuk diteliti, tentunya mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh karya-karya tafsir yang lain, apalagi kalau ditinjau dari metodologis penuturannya, lebih memudahkan bagi para pengkaji tafsir pemula tanpa disibukkan dengan penjelasan bertele-tele dan panjang lebar, yang justru membingungkan para pengkaji itu sendiri. Dengan bahasa yang mudah dicerna, apalagi untuk objek dimana tafsir itu lahir, penjelasan/ tafsir yang padat dan ringkas untuk disesuaikan kebutuhan, juga penbahasan ulumul Qur'an dan sejarah Tafsir pada lembaran-lembaran pertama sebelum masuk pada kajian tafsir, menambah nilai plus untuk tafsir buah karya Prof. TM Hasbie Ash-Shidiqie ini. Tentunya, kekurangan-kekurangan yang ada dalam tafsir ini tidak dapat kita pungkiri juga, bahwa disana harus ada penyempurnaan dan penekanan pada aspek-aspek kajian Ulum Tafsir/ Qur'an merupakan kewajaran, karena tafsir ini adalah murni karya anak manusia yang tentunya tidak terlepas dari kesalahan dan kekhilapan.
Wallahu A'lam.
Maroji'
1. Ash-Sidiqie, Hasbie, Tafsir al-Bayan, Bandung : PT. Al-Ma'arif, 1966
2. As-Suyuthi, Jalaluddin, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Beirut: Dar Ihya al-Ulum, 1978
3. Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta: Teraju 2003
4. Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur 2007
Senin, 06 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar