Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 06 Oktober 2008

Mustarak antara Shahih, Hasan dan Dlaif

Mustarak antara Shahih, Hasan dan Dlaif
Oleh : Zulkarnain al-Maidaniy

Hadits Musytarak antara shahih, hasan dan dlaif adalah suatu terminology bagi hadits –yakni jenis-jenis hadits menurut terminology ulama hadits- yang bersifat komplementer antara shahih, hasan dan dlaif.

1. Hadits Ahad.
Yaitu suatu hadits yang tidak sampai kepada derajat mutawatir.
Hadits Ahad terbagi kepada tiga bagian, yaitu:
a. al-Masyhur.
Secara bahasa artinya yang disiarkan, yang diterangkan.
Dalam istilah ahli hadits: “ Satu hadits yang diriwayatkan dengan tiga sanad yang berlainan rawi-rawinya.”
Hadits Masyhur juga kadang-kadang disebut Hadits Mustafidl.
Istilah Masyhur tidak hanya bagi hadits yang mempunyai tiga sanad yang berlainan saja, tetapi juga bagi hadits yang terkenal, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali.
Masyhur yang seperti ini terbagi tiga:
1. Masyhur di sisi Ahli Hadits, maksudnya adalah masyhur pada pandangan ahli hadits saja, dan boleh dikatakan tidak ada yang mengetahuinya kecuali mereka. Contohnya adalah hadits tentang Qunut.
2. Masyhur di sisi Ahli Hadits dan lainnya, maksudnya selain masyhur dikalangan ahli hadits, juga masyhur dikalangan Ahli Fikih, Ahli Ushul, Nahwu dan orang umum, contohnya adalah hadits tentang kedudukan niyat dalam amal.
3. Masyhur di sisi selain Ahli Hadits, yaitu masyhur di antara golongan lain.

b. al-Aziz.
Secara bahasa : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat.
Dalam istilah Ahli hadits, ialah ” Suatu hadits yang diriwayatkan dengan dua sanad yang berlainan rawi-rawinya.”



c. al-Gharib.
Secara bahasa : yang jauh dari negerinya, yang asing, yang ajaib, yang luar biasa, yang jauh untuk dipaham.
Dalam istilah Ahli Hadits, ialah “ Suatu Hadits yang diriwayatkan hanya dengan satu sanad.”
Bagian Gharib.
a. Pada sanad saja.
Apabila matan satu hadits diriwayatkan oleh “beberapa” sahabat, tetapi seorang rawi bersendiri menceritakannya dari “seorang” shahabi lainnya.
b. Pada Sanad dan Matan secara bersama-sama.
Yaitu satu hadits yang hanya mempunyai satu sanad saja, sedangkan matannya tidak orang lain lagi yang meriwayatkannya.
Gharib juga biasa dinamakan dengan Fard.
Fard terbagi dua, yaitu:
a). al-Fardu al-Muthlaq.
Jika “seorang” tabi’i bersendiri meriwayatkan suatu hadits dari seorang sahabat, sekalipun sesudah tabi’i tersebut sanadnya tetap gharib atau banyak orang yang menceritaknnya.
b). al-Fardu al-Nisbi.
Jika “lebih dari seorang” tabi’i menceritakan satu hadits dari seorang sahabat, lalu ada seorang rawi bersendiri dari salah seorang mereka dalam meriwayatkan hadits itu.

2. al-Marfu’, al-Musnad dan al-Muttashil
Secara bahasa artinya : yang diangkat, yang dimajukan, yang disampaikan.
Menurut Ahli Hadits, yaitu “ Sabda (ucapan) atau perbuatan atau taqrir atau sifat yang orang sandarkan kepada Nabi Saw”.
Marfu’ terbagi dua, yaitu:
1. Tashrihan, yaitu isinya terang-terangan menunjukkan kepada marfu’.
2. Hukman, yaitu isinya tidak terang-terangan menunjukkan kepada marfu’ tetapi dihukumkan marfu’ karena bersandar kepada beberapa tanda.
Beberapa kalimat yang berhubungan dengan pembicaraan marfu’.
1. Jika diriwayatkan satu hadits dari seorang shahabi, tetapi tabi’i yang menceritakannya berkata: ( ), artinya : ia merafa’kannya (kepada Nabi Saw) atau ( ), artinya : ia menyandarkannya (kepada Nabi saw) atau ( ), artinya : ia meriwayatkan (dari Nabi Saw) atau ( ), artinya : ia sampaikannya (kepada Nabi Saw) atau ( ), artinya : dengan meriwayatkan (sampai Nabi Saw).
2. Jika seorang shahabi berkata: ( ) artinya : telah berlalu sunnah, atau ( ), artinya : menurut sunnah, atau ( ): kami berbuat demikian di zaman Nabi Saw, atau ( ): kami berbuat demikian padahal Rasulullah Saw masih hidup.
3. Kalau di akhir sanad ada sebutan ( ) artinnya keadaannya dimarfu’kan.
Al-Musnad adalah hadits yang bersambung dari awal sanad hingga akhir sanad, serta dirafa’kan kepada Nabi saw. Musnad tidak sama dengan marfu’, dengan alasan bahwa dalam marfu’ ada kemungkinan inqitha’, karena penekanannya pada matan saja. Berbeda dengan musnad yang berkumpul di dalamnya dua syarat, yaitu ittishal dan rafa’ (penekanan pada sanad dan matan), maka dapat dikatakan bahwa setiap musnad adalah muttashil, karena ittishalnya sanad dari awal hingga akhir, dan musnad juga dikatakan marfu’ karena berakhirnya matan sampai kepada Nabi Saw.
Al-Muttashil adalah hadits yang bersambung sanadnya, sama saja apakah marfu’ kepada Nabi Saw atau sekedar mauquf kepada sahabat atau orang yang dibawahnya.
Ajaj al-Khatibi mencatat bahwa hadits muttashil kadang-kadang marfu’ dan kadang-kadang tidak merfu’. Sementara hadits yang marfu’ kadang-kadang muttashil dan kadang-kadang tidak muttashil. Sedangkan hadits musnad adalah muttashil lagi marfu’.

3. al-Mu’an’an.
Al-Mu’an’an menurut bahasa adalah hadits yang diriwayatkan dengan memakai ‘an (dari). Sedangkan menurut istilah ilmu hadits adalah “ Hadits yang diriwayatkan dengan memakai perkataan ‘an fulanin (dari si fulan) dengan tidak disebut perkataan “ haddatsana” (ia menceritakan) atau “akhbarana” ( dia mengkhabarkan kepada kami) atau “sami’na” (kami mendengar).
Bukhari dan Ibnu al-Madini memandang hadits mu’an’an sebagai muttashil apabila orang yang “an” itu ada bertemu atau mungkin bertemu dengan orang yang menceritakan kepadanya serta dia bukan orang yang mudallis. Sedangkan Muslim mensyaratkan hanya semasa saja.


4. al-Mu’annan.
Menurut bahasa : hadits yang memakai perkataan “anna” (bahwasanya) ditengah sanadnya. Menurut istilah ilmu hadits adalah “ Hadits yang diriwayatkan dengan memakai perkataan “anna”.
Hadits Mu’annan ini, disamakan hukumnya atau syaratnya dengan hadits Mu’an’an diatas yaitu mungkin dan bukan termasuk rawi yang mudallas. An-Nawawi dalam taqriebnya mengatakan bahwa dimasanya telah banyak orang mempergunakan “an”, buat menerima dengan jalan ijazah, sedang “anna” dipakai buat orang yang menerima dengan mendengarnya sendiri.

5. al-Mutabi’ dan al-Syahid.
Al-Muttabi’ secara bahasa artinya yang mengiringi atau yang mencocoki.
Menurut Ahli Hadits adalah, “ Satu hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga.”
Mutabi’ ada dua macam, yaitu:
1). Tamm ( yang sempurna) yaitu apabila sanad itu menguatkan rawi yang pertama.
2). Qashir ( yang kurang sempurna) yaitu apabila sanad itu menguatkan rawi-rawi yang lain dari yang pertama tadi.
al-Syahid secara bahasa artinya yang menyaksikan.
Menurut bahasa adalah, “ Satu hadits yang matannya mencocoki matan hadits lain”.
Syahid terbagi dua, yaitu:
1). Syahid Lafzhiy, suatu matan hadits yang menguatkan matan hadits lain secara lafazh.
2). Syahid Maknawiy, suatu hadits yang menguatkan hadits lain dari segi makna, bukan lafazhnya.
Keterangan:
Kegunaan Mutabi’ dan syahid adalah untuk menguatkan keterangan lain, apakah yang dikuatkan itu shahih, hasan atau dlaif.

6. al-Musalsal.
Secara bahasa artinya yang terangkai atau yang berangkai.
Menurut Ahli Hadits adalah “ satu hadits yang rawi-rawinya atau jalan meriwayatkannya berturut-turut atas satu keadaan.”
Dr. M. Ajaj al-Khatibi memasukkan musalsal ini dalam sifat isnad dengan memberikan contoh, diantaranya:
1). Tasalsul hal-ihwal para perawi yang berupa ucapan. Contohnya hadits Muadz bin Jabal, bahwa Nabi Saw bersabda kepadanya: “Wahai Muadz, sesungguhnya aku mencintaimu. Karena itu, setiap usai shalat, maka berdoalah: Ya Allah, tolionglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan mengabdi sebaik-baiknya kepada-Mu.
Masing-masing rawi secara berantai mengatakan : sesungguhnya aku menciantaimu.
2). Mualsal karena hal-ihwal para perawi yang berupa perbuatan. Contohnya hadits Abu Hurairah r.a katanya, Abu al-Qasim Saw menggenggam tanganku seraya berkata: “Allah menciptakan bumi pada hari sabtu.”
Hadits ini diriwayatkan secara berantai dengan cara masing-masing perawi menggenggam tangan orang yang meriwayatkan hadits itu darinya.
3). Musalsal karena hal-ihwal perawi yang berupa ucapan dan perbuatan sekaligus. Contohnya adalah hadits Anas bin Malik r.a, katanya, Rasulullah saw bersabda: “seorang hamba tidak akan merasakan manisnya iman, sehingga ia beriman kepada qadar, baik dan buruknya, manis dan getirnya.” Rasulullah Saw memegang jenggotnya seraya berkata lagi: “Aku beriman kepada qadar, baik dan buruknya, manis dan getirnya. Masing-masing perawi melakukan dan mengatakan apa yang dilakukan dan dikatakan oleh Nabi Saw.
4). Muslasal dengan sifat-sifat isnad dan periwayatan. Misalnya para perawi memiliki kesamaan dalam sighat ada’, seperti ucapan masing-masing perawi: “sami’tu fulan”, “haddatsana fulan”, “akhbarana fulan wallahi”, “asyhadu billahi lasami’tu fulan yaqulu” atau sejenisnya.
Hadits-hadits musalsal ada yang shahih, hasan, dlaif dan bathil, tergantung pada keadaan para perawinya. Karena tasalsul merupakan sifat bagi sebagaian sanad, maka sifat ini tidak serta merta mengindikasikan keshahihan atau kedlaifan. Kadang-kadang hadits bertasalsul sejak awal sampai akhirnya. Namun kadang-kadang sebagian tasalsul itu terputus sejak awal atau akhirnya.

7. Hadits Mudraj.
Hadits yang didalamnya terlihat adanya penambahan (yang sebenarnya tidak termasuk hadits tersebut). Sedang secara terminologis ia memiliki dua macam arti:
a). Idraj fil matn, yaitu memasukkan suatu pernyataan sebagian perawi ke dalam matan hadits, sehingga di salahpahami bahwa pernyataan itu termasuk sabda Nabi Saw. Letaknya bisa diawal, di tengah dan di akhir, dan inilah yang umum terjadi.
b). Idraj fis Sanad, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1. Seorang perawi memiliki dua matan dengan dua sanad, lalu ia meriwayatkan keduanya dengan salah satu sanad.
2. Seorang perawi mendengar suatu hadits dari sejumlah ulama dengan beragam sanad atau matannya, lalu ia meriwayatkannya dari mereka secara seragam dan dengan satu sanad tanpa menjelaskan adanya perbedaan di antara mereka.
3. Seorang perawi memiliki suatu hadits lengkap dengan sanadnya, kecuali sebagian darinya. Ia memiliki yang sebagian itu dengan sanad lain. Tetapi kemudian ada perawi (lain) yang meriwayatkannya secara lengkap darinya dengan salah satu sanadnya.
Ulama sepakat mengenai keharaman sengaja melakukan idraj dengan segala bentuknya. Karena rawi yang melakukan idraj, berarti telah gugur sifat adilnya, termasuk yang memutar bailkkan kalam dan disejajarkan dengan para pendusta. Sedang mudraj yang terjadi kesalahan perawi maka tidak ada dosa. Tetapi bila kesalahan tersebut sering terjadi, maka kualitas kedlabitannya cacat.

8. Hadits Muallaq.
Dalam istilah ilmu hadits adalah: “ Hadits yang pada awal sanadnya terbuang satu perawi atau lebih secara berturut-turut, dan hadits itu dinisbatkan kepada perawi diatas perawi yang terbuang.”
Hadits muallaq ini banyak terdapat dalam shahih Bukhari yang terbagi dalam dua bagian:
a) hadits tersebut ditempat lain berstatus muttashil, ini dimaksudkan untuk meringkas agar jangan terlalu panjang.
b) Hadits tersebut memang berstatus muallaq, hanya beliau meriwayatkannya dengan shighat jazm (redaksi pasti) seperti qala, pa’ala, amara dan rawa. Komentar an-Nawawi untuk kasus seperti ini, maka hadits tersebut adalah shahih.

9. al-‘Ali dan al-Nazil.
‘Ali artinya : yang tinggi. Nazil artinya : yang rendah.
‘Ali dalam istilah ilmu hadits ialah, “ Satu hadits yang para perawi sanadnya lebih sedikit dibanding dengan sanad lain dari hadits itu juga.”
Nazil dalam istilah ilmu hadits adalah, “ satu hadits yang para perawi sanadnya lebih banyak dibanding dengan sanad lain dari hadits itu juga.”
Bagian ‘Ali.
Pertama, Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada Nabi saw sedikit, kalau dibandingkan dengan sanad lain dari hadits itu juga.
Kedua, Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah seorang imam hadits sedikit dibanding dengan sanad lain dari riwayat itu juga.
Ketiga, Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah satu kitab yang mu’tabar lebih sedikit dibandingkan dengan sanad lain.
Keempat, Satu sanad di dalamnya ada rawi yang terima dari seorang syaikh meninggal lebih dahulu dari rawi lain yang juga terima dari syaikh tersebut.
Kelima, Sanad yang di dalamnya ada rawi yang mendengar dari syaikh lebih dahulu daripada rawi lain dari syaikh itu juga.
Keterangan:
‘Ali yang pertama disebut juga dengan ‘al-Uluwul Haqiqi” atau “al-Uluwwul Muthlaq” karena tidak disandarkan kepada selain Nabi Saw.
Sedang ‘Ali yang kedua sampai dengan keliama disebut juga dengan “al-Uluwwun Nisbi”.
10. Riwayat al-Kabir ‘an al-Shagir.
Yaitu riwayat orang besar dari orang kecil.
Maksudnya adalah:
a). Orang yang lebih tua umurnya dari rawi yang satunya, dan lebih dahulu thabaqahnya.
b). Orang yang lebih tinggi derajatnya tentang ilmu dan hafalan.
c). Orang yang lebih tua umurnya, serta lebih dahulu mendengar dari seorang syaikh.
d). Seorang guru (jika dibandingkan dengan muridnya).
e). Seorang Sahabat Nabi Saw (jika dibandingkan dengan tabi’i).
f). Seorang tabi’i (jika dibandingkan dengan pengikutnya, yaitu tabi’ut tabi’i).
keterangan:
ilmu tentang riwayat Kabir ‘an Shagir adalah agar kita tidak menyangka sanadnya terbalik dan agar jangan ada anggapan bahwa orang yang diriwayatkan daripadanya itu lebih mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar