Dimensi Komunikatif Alqur’an
Hiwar (percakapan) Allah dan Makhluk-Nya dalam Alqur’an
Oleh : Zulkarnain al-Maidaniy
Pengantar
Alqur’an adalah sebuah kitab suci yang berisi jawaban-jawaban dari Allah Swt yang menggunakan dimensi-dimensi kemanusiaan, kekinian dan keduniawian agar mudah dipelajari, dipahami, diamalkan dan dipertahankan terus eksistensinya (keberadaannya) di tengah-tengah kehidupan umat manusia dan karena alqur’an merupakan dustur al-hayat. Alqur’an juga merupakan media Allah Swt untuk berbicara kepada manusia, sehingga arahan serta petunjuk-Nya mudah terindera dan terpahami. Dalam alqur’an kita temukan bagaimana cara Allah swt berbicara dengan manusia, yaitu dalam Qs. Asy-Syura (42): 51. Salah satu diantara adalah verbalisasi terhadap pesan-pesan-Nya. Sebagaimana kita ketahui bahwa verbalistik merupakan salah satu sifat di dalam berkomunikasi, sebuah metode di dalam menyajikan pesan-pesan yang akan ditransformasikan. Terlebih lagi apabila dapat masuk dalam persfektif budaya yang memanfaatkan pola komunikasi sosial sehari-hari. Oleh sebab itu, meskipun alqur’an sebenarnya menggunakan bahasa Arab masa lalu yang memiliki kandungan nilai sangat tinggi, ternyata masih dapat dipahami melalui struktur, konsepsi sampai dengan makna filosofis bahasa Arab yang hidup dan dipergunakan oleh masyarakat modern yang cenderung menyederhanakan tata nilai dari suatu budaya.
Pada tataran selanjutnya, kita banyak menemukan ayat-ayat yang bersifat dialogis, diantaranya yaitu adanya hiwar (percakapan) antara Allah Swt dengan makhluk-Nya, petunjuk alqur’an serta jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada nabi Muhammad Saw dalam berbagai permasalahan agama dan umat Islam. Yang dimaksud metode hiwar adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah pada satu tujuan. Percakapan itu bisa dialog langsung dan melibatkan kedua belah pihak secara aktif, atau bisa juga yang aktif hanya salah satu pihak saja, sedang pihak lain hanya merespon dengan segenap perasaan, penghayatan dan kepribadiannya.
Hiwar mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara juga bagi pendengar pembicaraan. Ini disebabkan beberapa hal, yaitu:
Pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua belah pihak terlibat langsung dalam pembicaraan, tidak membosankan. Kedua pihak saling memperhatikan. Jika tidak memperhatikan tentu tidak dapat mengikuti jalan pikiran pihak lain. Kebenaran atau kesalahan masing-masing dapat diketahui dan direspon saat itu juga. Topic-topik baru seringkali ditemukan dalam pembicaraan seperti itu. Cara kerja metode ini seperti diskusi bebas.
Kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu, karena ia ingin tahu kesimpulannya. Diikuti dengan penuh perhatian, tidak bosan dan tetap semangat.
Ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya.
Keempat, bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat, akan mempengaruhi peserta, sehingga meninggalkan pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam berbicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya.
Macam-macamnya:
Hiwar khithabi/ Ta’abbudi (percakapan pengabdian).
Dalam Hiwar Khithabi ini dialog dimulai dari satu pihak, yakni si pembicara, sedang pihak kedua memperhatikan dengan emosinya, sehingga terundang untuk menyambutnya dengan pikiran dan perasaannya.
Hiwar ini ada empat macam, yaitu:
khithabi nida’ ta’rif bi al-iman; menyeru dengan identitas keimanan, seperti dalam Qs. Ali Imran (3): 102, “Wahai orang-orang yang beriman…”, sehingga menggugah perasaan orang yang dalam hatinya terkandung keimanan kepada Allah bangkit emosinya untuk memperhatikan apa tujuan Allah memanggil dirinya, yang pada akhirnya akan melahirkan sifat tunduk serta taat seiring tersanjungnya dirinya dikarenakan telah dipanggil dengan nama yang dia senangi. Anak kecil atau pun orang dewasa tatkala dipanggil dengan nama kesayangan, yang pertama kali terbersit dalam hatinya adalah tumbuhnya sikap hormat kepada yang memanggil disertai dengan hati yang berbunga-bunga. Dalam ilmu komunikasi, salah satu cara agar orang yang kita panggil segera memenuhi ajakan kita adalah dengan mengambil simpati dari hatinya. Dalam ayat diatas, untuk menghiasi diri seseorang dengan sifat ketakwaan tidak mudah sebagaimana membalikkan telapak tangan. Apalagi sikap takwa yang betul-betul sesuai dengan keinginan Allah Swt. Takwa yang dimaknai dengan ketakwaan paripurna (kamilah), tentunya akan banyak kesulitan dan rintangan yang bakal dia hadapi. Ditambah lagi dengan perintah untuk tetap mengartikulasikan makna takwa dan sikap penyerahan total hanya kepada Allah sampai titik darah penghabisan, tanpa pernah sedikitpun berpaling dari komitmen ilahiyah ini. Tetapi ketika hatinya sudah merasa disayang dan merasa mendapatkan penghargaan yang mulia oleh Zat yang dia agungkan, seberat apapun ajakan tersebut, tidak akan ada yang mampu mengalahkan tekadnya.
khithab tadzkiri; mengingatkan nikmat-nikmat Allah, seperti dalam Qs. 2: 211, “Tanyakanlah kepada Bani Israil, berapa banyak ayat-ayat yang jelas yang telah Kami berikan kepada mereka. Barang siapa yang mengganti nikmat-nikmat Allah
khithab tanbihi; merangsang perhatian, seperti dalam Qs. 78: 1-3.
khithab ‘athifi; menggugah perasaan, seperti dalam Qs. 56: 68-69.
Khithab ‘athifi tardidi; mengulang-ulang pertanyaan, seperti dalam Qs. 55: 13, 16, 18.
Khithab ta’ridli; sindiran, seperti dalam Qs. 96: 9-10.
Hiwar Washfi (percakapan deskriftif).
Lain halnya dengan hiwar khithabi, dalam hiwar washfi ini digambarkan secara jelassituasi orang yang sedang berdialog. Dengan hiwar ini tercipta sebuah situasi psikis yang dihayati bersama secara riil oleh mereka yang terlibat dialog.
Hiwar Qishashi (percakapan berkisah).
Hiwar ini terdapat dalam sebuah kisah, yang bentuk maupun rangkaian ceritanya sangat jelas. Hiwar ini merupakan unsur dan uslub kisah dalam alqur’an. Contoh dalam Qs. al-Anbiya (21): 62-63.
Hiwar Jadali (percakapan dialektis).
Hiwar Jadali merupakan diskusi atau perdebatan yang bertujuan untuk memantapkan hujjah kepada pihak lawan bicara. Dalam hiwar ini, aspek logika akan tampak ,namun demikian, sentuhan terhadap perasaan akan tetap dominan, sebab unsure istifham tetap digunakan. Contoh dalam Qs. Ath-Thur (42): 35.
Metode Menjelaskan
Metode yang bersifat menjelaskan pada umumnya ditujukan di dalam memberikan jawaban terhadap persoalan atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad Saw, sehingga diharapkan akan dapat menemukan pemahaman yang memang dimaksudkan oleh Allah Swt.
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” (Qs. Al-Baqarah (2) :215
2. Metode Tanya Jawab dalam alqur’an
Dalam alqur’an, terdapat hiwar yang menggunakan metode Tanya jawab. Menurut kaidah dasar, setiap jawaban harus sesuai dengan pertanyaan, jika pertanyaan itu meminta jawaban yang jelas. Meskipun demikian, ada juga jawaban, dalam alqur’an, yang tidak sesuai dengan apa yang dipertanyakan. Artinya, dalam pembahasan ini perlu diingatkan kembali bahwa di antara hak sebuah pertanyaan adalah memperoleh jawaban yang sesuai dengan yang ditanyakan. Ketetapan ini kemudian disebut oleh Imam al-Sakkaki sebagai al-uslub al-hakim (gaya bahasa yang bijak).
Dalam konteks ini, jawaban yang diberikan sering kali bersifat lebih umum dibanding dengan pertanyaan yang diajukan, disebabkan oleh adanya tuntutan atau kebutuhan. Begitu juga sebaliknya, jawaban yang diberikan terkadang bersifat lebih terbatas dan spesifik.
Berikut ini kami paparkan beberapa contoh tentang Tanya jawab dalam alqur’an.
Jawaban yang tidak sejalan dengan pertanyaan, Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji …” (Qs. Al-Baqarah (2): 189). Ayat tersebut mempertanyakan tentang hilal (bulan sabit), mengapa pada awalnya tampak kecil seperti benang, lalu sedikit demi sedikit bertambah besar sehingga menjadi sempurna (purnama); setelah itu, sedikit demi sedikit berkurang dan akhirnya kembali seperti semula. Meskipun demikian, Allah Swt memberi jawaban dengan mengungkapkan hikmah fenomena bulan sabit itu, tidak seperti yang mereka tanyakan (hakikat bulan). Hal itu dimaksudkan untuk memberi peringatan bahwa yang paling baik untuk ditanyakan adalah hikmah adanya bulan, bukan seperti apa yang mereka pertanyakan (hakikat bulan).
Jawaban yang melebihi tuntutan pertanyaan, Katakanlah: "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya." (Qs. Al-An’am (6): 64). Ayat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan, Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut … (Qs. Al-An’am (6): 63). Demikian pula dengan perkataan Nabi Musa, Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya."(Qs. Thaha (20): 18). Ayat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan, Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?(Qs. Thaha (20): 17). Dalam hal ini, Nabi Musa menjawab pertanyaan Tuhan dengan jawaban yang melebihi tuntutan karena merasa senang berbicara dengan Allah Swt.
Begitu juga, salah satu metode ayat-ayat qur’aniyah dengan pendekatan pertanyaan dan berikut jawabannya, yaitu mengawali ayatnya dengan redaksi alam tara, yang kalau dihitung akan mencapai sebanyak 31 buah. Salah satu diantaranya dalam Qs. Al-Baqarah (2): 258
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan."Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
Imam ash-Shabuni mengomentari hiwar antara Allah dengan para Malaikat pada kasus penciptaan Nabi Adam, dalam Qs. Al-Baqarah ayat 30, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?”, pertanyaan mereka seperti ini bukan merupakan cermin pemberontakan terhadap Allah, bukan pula merupakan kedengkian terhadap Adam dan keturunannya, tetapi itu merupakan pertanyaan yang menuntut penjabaran dan uraian tentang hikmah penciptaan Adam dan manusia. Seakan-akan mereka berkata, “Wahai Rabb kami, apa hikmah penciptaan manusia itu, padahal di antara mereka ada yang berbuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah?” lalu disampaikan jawaban yang tuntas dan luas cakupannya, “Sesungguhnya Aku mengetahu apa yang tidak kalian ketahui”. Allah mempunyai hikmah yang agung dan mulia dalam penciptaan Adam, yang tidak diketahui para malaikat. Dalam pengabaran yang disampaikan Allah kepada para malaikat tentang penciptaan Adam dan pengangkatannya sebagai khalifah, terkandung pelajaran bagi manusia, agar mereka suka bermusyawarah dalam segala urusan sebelum mereka melaksanakannya. Musyawarah dituntut dalam urusan dunia dan agama (Qs. Asy-Syura: 39).
Maroji.
Dr. Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki, Samudera Ilmu-ilmu Alqur’an, Arasy-Mizan, Bandung, 2003.
Muhammad Djarot Sensa, Komunikasi Qur’aniyah, Pustaka Islamika- Bandung, 2005.
Muhammad ‘Ali ash-Shobuni, Cahaya Aqur’an, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar