Imam Muhammad Nawawi al-Bantani
(Kajian Tokoh di Indonesia)
Oleh : Zulkarnain al-Maidaniy
Pendahuluan.
Sejak abad pertama, kawasan laut Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka sudah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional yang dapat menghubungkan negeri di Asia Timur Jauh, Asia Tenggara dan Asia Barat. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa. Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai Cina melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu Cina dibawah Dinasti Tang (618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14) dan Dinasti Abbasiyah (750-870).
Menurut J.C. van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di Barat Laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah kapur barus terkenal. Dari berita Cina bisa diketahui bahwa di masa Dinasti Tang (abad 9-10) orang-orang Ta-Shih sudah ada di Kanton (Kan-fu) dan Sumatera. Ta-shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi Muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian Barat dan Kerajaan Cina zaman dinasti Tang di Asia bagian Timur serta Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara. Akan tetapi menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu yang beragama Islam.
Baru pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini masuk Islam, tentu bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad ke-13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082 M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M merupakan bukti berkembangnya komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit.
Berdasarkan sumber sejarah, seperti hikayat, tambo, babad dan cerita tradisional, yang berperan penting dalam penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara bukan hanya pedagang dan guru sufi yang datang dari luar Asia Tenggara, tetapi juga dari negeri di lingkungan Asia Tenggara sendiri. Misalnya, Hikayat Pattani menceritakan kedatangan Syaikh Sa’d dari Pasai yang berhasil mengislamkan Raja Pattani dan putera-puterinya. Dalam Babad Jawa disebutkan, yang melakukan penyebaran Islam adalah wali yang secara kelompok terkenal dengan sebutan “Wali Songo”. Sebagian Wali Songo berasal dari pulau Jawa. Dalam lontara Goa dan Tallo disebutkan bahwa Dato ri Bandang, Dato ri Tiro dan Dato ri Pattimang adalah mubaligh yang diperkirakan berasal dari Minangkabau. Dalam Hikayat Kutai disebutkan kedatangan dan penyebaran agama Islam dilakukan oleh Datuk di Bandang (Dato ri Bandang) dan Datuk Tunggang Parangan yang sebelumnya menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan.
Pada periode-periode selanjutnya, sebagaimana yang diketahui bahwa sebelum kedatangan Islam ke Nusantara, kebanyakan penduduk pribumi menganut agama Hindu, Budha dan tidak sedikit animisme yang banyak memasukkan unsur-unsur mistis dalam prilaku keagamaan ritual keseharian. Hal ini tentunya memaksa para mubaligh untuk bisa menyesuaikan dengan kecenderungan penduduk pada waktu itu agar dakwah Islam bisa lebih diterima. Dalam Islam, aspek ajaran yang banyak bersinggungan dengan unsur mistis adalah tasawuf. Unsur tasawuf dapat dilihat misalnya dari tulisan pada beberapa nisan kubur. Konsep Insan Kamil, misalnya, terdapat pada nisan kubur raja Melayu dan Indonesia yang disebut Batu Aceh. Ayat alqur’an dan beberapa syair sufi yang terdapat pada beberapa nisan itu pada dasarnya mempunyai tema umum, yaitu menekankan kenyataan bahwa “Hanya Allah-lah yang ada dan Ia menentukan manusia.” Terdapat enam nisan kubur di Semenanjung Malaka yang memuat syair sufi, yaitu makam Nibong di Johor, di Pagoh, di Muar dan yang lainnya terdapat di Sayong Pinang.
Meskipun telah terdapat pengaruh unsur tasawuf antara abad ke-13 dan abad ke-15, namun baru pada abad ke-16 dan ke-17 ajaran tasawuf berkembang secara jelas di Asia Tenggara. Hal ini dapat diketahui dari hasil karya ahli tasawuf pada abad itu. Di Jawa misalnya, ada kitab kitab primbon abad ke-16 dan juga kitab Wejangan She Bari dari abad ke-16. Syaikh Yusuf, sekembalinya dari Timur Tengah pada abad ke-17, menulis banyak kitab tasawuf. Di Aceh pada sekitar abad ke-17 muncul pula ahli tasawuf, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri dan Abdur Rauf Singkel.
Demikianlah, ahli tasawuf mempunyai peranan penting dalam proses penyebaran dan pemantapan Islam di Asia Tenggara. Tasawuf. Para ulama yang pernah bermukim di Makkah, yang lazim disebut “al-Jawi”, banyak berguru pada ulama besar di Timur Tengah. Sekembalinya ke tanah air di Asia Tenggara, mereka berperan besar dalam upaya penyebaran intelektual keislaman. Bahkan ada yang melakukan pembaruan dan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Diantar para ulama yang punya peran besar dalam penyebaran intelektual dan pembaruan yang signifikan, tercatatlah nama ulama terkenal dari Banten, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani atau disebut juga Imam Nawawi Tanara. Sekalipun tidak lama bermukim di Nusantara dan waktunya banyak dihabiskan di Makkah, tetapi pengaruh intelektual yang ditimbulkan, baik dari para ulama yang belajar kepada beliau maupun dari karangan-karangan beliau yang banyak dipelajari dan dijadikan rujukan dalam pelaksanaan keagamaan umat Islam di Indonesia menjadikan tokoh ini termasuk dalam jajaran ulama yang berperan aktif dalam menyebarkan syariat Islam di bumi Nusantara ini.
Makalah sederhana ini mencoba untuk menghadirkan sosok tersebut berikut peran yang disumbangkan dalam upaya penyebaran dan pembinaan masyarakat Indonesia di atas landasan syariat Islam menuju Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur.
Tentang Imam Muhammad Nawawi Tanara al-Bantani.
Nama beliau adalah Nawawi bin Umar bin Arabi. Ia disebut juga Nawawi al-Bantani. Dikalangan keluarganya, Syaikh Nawawi al-Jawi dikenal dengan sebutan Abu Abdul Mu’ti. Ayahnya bernama KH. Umar bin Arabi, seorang ulama dan penghulu di Tanara, Banten. Sedangkan ibunya, Jubaidah, penduduk asli Tanara. Beliau lahir di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, keresidenan Banten, pada 1230 H/ 1813 M. wafat pada usia 84 tahun, yaitu pada 25 Syawal 1314 H/ 1879 M, di tempat kediamannya yang terakhir, kampung Syi’ib Ali, Makkah. Jenazahnya di makamkan di pekuburan Ma’la, Makkah, berdekatan dengan kuburan Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar as-Shidiq. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan Minhaj ath-Thalibin-nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hujam an-Nawawi.
Silsilah keturunan.
Silsilah keturunan Imam Nawawi dari garis ayah adalah sebagai berikut:
Imam Nawawi → Kyai Umar → Kyai Arabi → Kyai Ali → Ki Jamad → Ki Janta → Ki Masbugil → Ki Masqun → Ki Masnun → Ki Maswi → Ki Tajul Arusy Tanara → Maulana Hasanudin Banten → Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon → Raja Amatudin Abdullah → Ali Nuruddin → Maulana Jamaludin Akbar Husain → Imam sayyid Ahmad Syah Jalal → Abdullah Adzmah Khan → Amir Abdullah Malik → Sayydi Alwi → Sayyid Muhammad Shahib Mirbath → Sayyid Ali Khali’ Qasim → Sayyid Alwi → Imam Ubaidillah → Imam Ahmad Muhajir Ilallahi → Imam Isa an-Naqib → Imam Muhammad Naqib → Imam Ali Aridhi → Imam Ja’far as-Shadiq → Imam Muhammad al-baqir → Imam Ali Zainal Abidin → Sayyiduna Husain → Sayyidatuna Fatimah Zahra → Muhammad Rasulullah Saw.
Silsilah keturunan Imam Nawawi dari garis ibu adalah sebagai berikut;
Imam Nawawi → Nyi Zubaidah → Muhammad Singaraja.
Riwayat Pendidikan dan Pengajaran.
Sejak kecil Syaikh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fikih dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada Kyai Sahal di daerah Banten dan Kyai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di tempat ini beliau belajar pada banyak ulama besar yang bermukim di sana. Setelah itu beliau belajar di Madinah untuk lebih menambah wawasan keislaman dalam bidang disiplin ilmu yang lain. Semangat tinggi menyebabkan beliau berkelana mencari dan mendalami berbagai ilmu pengetahuan ke negeri-negeri lain, seperti Mesir dan Syam (Syiria). Di tempat ini beliau belajar kepada ulama-ulama besar.
Setelah belajar dan berkelana mencari dan mendalami berbagai ilmu pengetahuan di empat negeri tersebut, beliau pulang ke tanah air, yaitu pada tahun 1248 H/ 1831 M, untuk kembali belajar kepada salah seorang ulama besar di Karawang, Jawa Barat. Setelah perjalanan pencarian ilmu di Karawang, beliau kembali ke daerah asalnya, Tanara, untuk mulai mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada umat yang sangat mengharapkan dan mendambakan ilmunya. Di tempat kelahirannya tersebut, beliau membina pesantren peninggalan orang tuanya. Akan tetapi, karena kondisi tanah air ketika itu masih berada di bawah jajahan Belanda, dan setiap gerak-gerik para ulama diawasi, termasuk kegiatan Imam Nawawi, beliau kembali ke Makkah untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada para Mahasiswa yang berdatangan ke sana dari berbagai negara. Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini, Syaikh Nawawi tidak pernah kembali lagi ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, di Mekkah ia kembali berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syaikh Muhammad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni dan Syaikh Abdul Hamid Dagastani.
Para murid-murid beliau.
Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih kurang 30 tahun, Syaikh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidil Haram. Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru negeri, termasuk Indonesia. Di antara para ulama besar Indonesia yang menjadi muridnya, antara lain, adalah:
1. K.H. Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
2. K.H. Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
3. K.H. Asy’ari, Bawaian, yang kemudian diambil menantu oleh beliau, dinikahkan dengan puterinya yang bernama Nyi Maryam binti Syaikh Imam Nawawi.
4. K.H. Nahjun, kampung Gunung Mauk, Tanggerang, yang juga dijadikan mantunya (cucu), dinikahkan dengan Nyi Salmah binti Ruqayyah binti Syaikh Imam Nawawi. K.H. Nahjun juga bertindak selaku penulis karangan Imam Nawawi, terutama ketika beliau menulis Qathr al-Ghaits.
5. K.H. Asnawi, Caringin, Labuan, kabupaten Pandeglang, Banten.
6. K.H. Ilyas, kampung Teras, Tanjung, kecamatan Karagilan, kabupaten Serang, Banten.
7. K.H. Abdul Ghaffar, kampung Lampung, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten.
8. K.H. Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
Karya-karya beliau.
Sebagaimana ulama-ulama besar lainnya, Imam Nawawi– disamping mengajar dan mendidik para siswa yang belajar kepadanya- seluruh waktunya dipergunakan untuk menulis. Buah karyanya sebanyak 115 kitab, atau 99 kitab, menurut riwayat lain.
Tulisan-tulisan Imam Nawawi antara lain:
1. As-Simar al-Yani’at: ulasan atas Riyadh al-Badi’at-nya Syaikh Muhammad Hasbullah. Kitab ini membahas masalah fikih.
2. Tanqih al-Qaul: ulasan atas Lubab al-Hadits-nya Imam Jalaludin Sayuthi. Kitab ini membahas empat puluh keutamaan, dimulai dengan keutamaan sabar.
3. at-Tausyih: ulasan atas Fath al-Qarib al-Mujib al-Musamma bi at-Taqrib-nya Ibn Qasim al-Ghazi. Kitab ini membahas masalah fikih.
4. Nur azh-Zhulam: ulasan atas al-Manzumah bi Aqidat al-Awwam-nya Syaikh Sayyid Ahmad Marzuki al-Maliki. Kitab ini membahas masalah tauhid.
5. At-Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil: kitab ini membahas masalah tafsir Alqur’an.
6. Madarij ash-Shu’ud: ulasan atas Maulid an-Nabawi asy-Syahir bi al-Barzanji-nya Imam Sayyid Ja’far. Kitab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw.
7. Fath al-Mujid: ulasan atas ad-Darr al-Farid fi at-Tauhid-nya Imam Ahmad Nawawi. Kitab ini membahas masalah tauhid.
8. Fath as-Shamad: ulasan atas Maulid an-Nabawi asy-Syahir bi al-Barjanzi-nya Ahmad Qasim al-Maliki. Kitab ini membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan kelahiran Nabi.
9. Nihayat az-Zain: ulasan atas Qurrat al-‘Ain bi Muhimmat ad-Din-nya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari. Kitab ini membahas masalah fikih.
10. Sulam al-Fudhala: ulasan atas Manzumat al-Azkiya-nya Syaikh Imam Fadhil Zainuddin. Kitab ini membahas masalah akhlak dan tasawuf.
11. Muraqi al-‘Ubudiyah: ulasan atas Matn Bidayat al-Hidayat-nya Hujjat al-Islam Abi Hamid al-Ghazali. Kitab ini membahas masalah akhlak dan tasawuf.
12. Nashaih al-‘Ibad: ulasan atas al-Munbihat ‘ala al-Isti’dad li yaum al-Ma’ad-nya Syaikh Syihabudin Ahmad bin Ahmad al-Asqalani. Kitab ini merupakan nasihat kepada manusia tentang persiapan menghadapi Hari Akhir.
13. Sulam al-Munajat: ulasan atas Safinat ash-Shalat-nya Sayyid Abdullah bin Umar al-Hadhrami. Kitab ini membahas masalah fikih.
14. Al-‘Aqdhu ats-Tsamin: ulasan atas Manzumat as-Sittin Mas-alatan al-Musamma bi al-Fath al-Mubin-nya Syaikh Musthafa bin Utsman al-jawi al-Qaruti. Kitab ini membahas enam puluh masalah yang berkaitan dengan tauhid dan fikih.
15. Bahjat al-Wasa’il: ulasan atas ar-Risalah al-Jami’ah bain Ushul ad-Din wa al-Fiqh wa Tashawuf-nya syaikh Ahmad bin Zaini al-habsyi. Kitab ini membahas masalah tauhid, fikih dan tasawuf.
16. Targhib al-Musytaqin: ulasan atas Manzumat as-Sayyid al-Barjanzi Zain al-Abidin fi Maulid-nya Sayyid al-Awwalin. Kitab ini membahas masalah kelahiran Nabi Muhammad Saw.
17. Tijan ad-Darari: ulasan atas al-‘Alim al-Allamah Syaikh Ibrahim al-Bajuri fi at-Tauhid. Kitab ini membahas masalah tauhid.
18. Fath al-Mujib: ulasan ringkas atas Khatib asy-Syarbani fi ‘Ilmi al-Manasik. Kitab ini membahas masalah haji.
19. Mirqat Shu’ud at-Tashdiq: ulasan atas Sullam at-Taufiq-nya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alwi. Kitab ini membahas masalah tauhid, fikih dan akhlak.
20. Kasyifat asy-Syaja: ulasan atas Safinat an-Naja-nya Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami. Kitab ini membahas masalah tauhid dan akhlak.
21. Qami’ at-Thugyan: ulasan atas Manzumat Syu’b al-Iman-nya Imam Syaikh Zainuddin bin Ali bin Ahmad asy-Syafi’i al-Kausyani al-Malibari. Kitab ini membahas masalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah iman.
22. Al-Futuhat al-Madaniyah: ulasan atas Syu’b al-Imaniyah.
23. Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq az-Zaujain: membahas hak dan kewajiban suami isteri.
24. Fath Ghafir al-Khattiyah: ulasan atas Nuzhum al-Jurumiyah al-Musamma bi al-Kaukab al-Jaliyah-nya Imam Abdus Salam bin Mujahid an-Nabrawi. Kitab ini membahas masalah ilmu nahwu (tata bahasa).
25. Qathr al-Ghaits: ulasan atas Masa’il Abi Laits-nya Imam Abi Laitsi dan Mufassir bin Muhammad bin al-Hanafi.
26. Al-Fushush al-Yaquthiyah ‘ala Rawdhat al-Mahiyah fi al-Abwab at-Tashrifiyah. Kitab ini membahas ilmu sharaf (morfologi). Juga membahas tentang tawasul dengan mempergunakan Asma al-Husna (nama-nama Allah yang Agung), dengan Nabi Saw serta ulama-ulama pilihan lainnya.
Dari karya-karya tulis Imam Nawawi di atas, dapat diketahui bahwa cakupan disiplin ilmunya sangat beragam dan luas sekali, mulai dari ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu sejarah, ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu akhlak, ilmu tasawuf dan ilmu bahasa. Hampir seluruh kitab tersebut kini dipelajari di pondok-pondok pesantren salafi maupun majelis-majelis taklim, bahkan sering dijadikan sebagai kitab pegangan utama, misalnya kitab-kitab fikh dan akhlak. Beberapa keistimewaan dari karya-karya beliau telah ditemukan oleh para peneliti, diantaranya kemampuan menghidupkan isi karangan sehingga dapat dijiwai oleh pembacanya, pemakaian bahasa yang mudah dipahami sehingga mampu menjelaskan istilah-istilah yang sulit dan keluasan isi karangannya. Buku-buku karangannya juga banyak digunakan di Timur Tengah.
Semua kitab fikih karya Imam Nawawi merujuk kepada mazdhab fikih Syafi’I, karena memang beliau bermadzhab Syafi’i. Inilah barangkali salah satu faktor kuatnya madzhab Syafi’i di kalangan umat Islam Indonesia. Tepat apa yang dikatakan oleh Muhammad Khudari Beiq bahwa salah satu faktor kuatnya pengaruh madzhab fikih yang empat (madzahib al-arba’ah) adalah ulama-ulama yang dalam dan luas ilmunya menjadi murid imam madzhab (talamidz an-nujaba) yang kemudian menyebarluaskan pendapat-pendapat imam mereka.
Jaringan Arabia an-Nawawi.
Meskipun penulis tidak banyak mendapatkan informasi yang cukup lengkap tentang awal perjalanan an-Nawawi ke Arabia, tetapi dari data yang ada kita beruntung bahwa dia meninggalkan catatan biografi mengenai studinya di Arabia. Diperkirakan, an-Nawawi berlayar menuju Arabia yang awalnya dia niatkan untuk menunaikan ibadah haji, tetapi selanjutnya dia putar haluan untuk tidak langsung kembali ke tanah air setelah selesai melaksanakan rukun Islam yang ke lima tersebut. Dari data yang ada, selama 3 tahun beliau menghabiskan waktunya untuk berguru dan menimba ilmu dengan para ulama besar ketika itu. Tercatat, diantara ulama yang pernah ditimba ilmunya antara lain Sayyid Ahmad Nakhrawi, Syaikh Ahmad Dimyati dan Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Semua yang disebutkan bermukim di Makkah al-Mukarramah. Selain itu juga beliau tidak hanya mencukupkan diri dengan ulama yang ada di Makkah saja, tetapi beliau pergi berkelana ke kota Hijrah Rasul, Madinah al-Munawarah. Di sana beliau banyak belajar disiplin ilmu keislaman kepada Syaikh Muhammad Khatib al-Hanbali.
Pada tahun 1831 M an-Nawawi kembali ke tanah air. Tetapi tidak lama kemudian, diperkirakan selama 3 tahun, beliau kembali lagi ke Arabia, tepatnya Makkah. Hal itu dilandasi karena kondisi politik tidak memungkinkan bagi an-Nawawi secara leluasa bergerak bebas dalam tablighnya kepada umat. Masa yang singkat itu beliau pergunakan untuk terus mengisi waktunya dalam memperdalam ilmu agama, diantaranya beliau kembali berguru dengan ulama-ulama tanah air.
Sekembalinya an-Nawawi ke Arabia yang kedua kalinya dan menurut catatan sejarah bahwa selanjutnya beliau tidak pernah kembali lagi ke tanah air dan terus menetap di Makkah sampai akhir hayatnya. Periode kedua dari studinya di Arabia menunjukkan akan minatnya yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan khususnya yang berhubungan masalah-masalah keislaman. Pada periode ini, kembali an-Nawawi melanjutkan pengembaraannya dan tercatat bahwa Syaikh Muhammad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni dan Syaikh Abdul Hamid Dagastani adalah guru-guru an-Nawawi periode kedua studinya di Arabia.
Pengaruh intelektual terhadap lingkungan sosio keagamaan masyarakat Indonesia.
Kedudukan penting an-Nawawi bagi perkembangan Islam di Nusantara tak terbantahkan. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya yang beliau hasilkan yang nota bene banyak dirujuk oleh umat Islam Indonesia dalam pengamalan keislaman sehari-hari. Salah satu diantara sekian banyak karya yang berpengaruh terhadap umat Islam Indonesia adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, sebuah karya dibidang tafsir alqur’an. Karya an-Nawawi ini yang menyebabkan beliau mendapatkan penghargaan dari para ulama Makkah dan Mesir. Ketika selesai menulis karyanya tersebut, yaitu pada hari Selasa malam Rabu, 5 Rabi’ul Akhir 1305 H, ia sodorkan terlebih dahulu kepada ulama-ulama Makkah untuk diteliti, kemudian setelah itu diteliti pula oleh ulama-ulama Mesir, untuk kemudian dicetak di Negara tersebut. Di Mesir para ulama memberikan gelar kepadanya “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” (pemimpin ulama Hijaz). Kemasyhuran karya tafsir an-Nawawi yang banyak digunakan di pondok-pondok pesantren di Nusantara satu tingkat di bawah tafsir Jalalain. Karya-karya an-Nawawi di bidang tasawuf juga banyak mewarnai khazanah intelektual kaum agama di Nusantara. Tasawuf yang dipraktekkan an-Nawawi sendiri adalah tasawuf yang agak moderat, tasawuf al-Ghazali, yang menitik beratkan segi etis di dalam bentuk yang sederhana. Pada tahun 1881 M dia menerbitkan sebuah syarh terhadap karya al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, dan juga di tahun 1884 sebuah syarh terhadap syair tasawuf, karya Zainuddin al-Malabari.
Kemudian bukti lain akan pengaruh an-Nawawi terhadap sosio keagamaan masyarakat Nusantara adalah kedudukan serta peran murid-muridnya yang banyak menimba ilmu sewaktu mereka melakukan studi ke Makkah. Pengaruh para murid-muridnya tersebut yang secara tidak langsung membawa paham dari gurunya tersebut tentu tidak perlu diragukan lagi. Diantara para murid beliau adalah K.H. Hasyim Asy’ari, seorang pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlotul Ulama (NU). Sehingga tidak mengherankan jika Ormas ini menisbatkan madzhabnya pada Imam Syafi’i sebagaimana Guru Besar mereka, an-Nawawi yang memang menganut madzhab Syafi’i.
Penutup.
An-Nawawi, seorang ulama besar dari Banten yang mempunyai pengaruh besar dalam mengembangkan khazanah keilmuan dan pemahaman masyarakat Nusantara akan hakikat ajaran Islam. Sekalipun tidak lama menetap di Indonesia dan waktunya banyak dihabiskan di Makkah hingga akhir hayatnya, tetapi sumbangsihnya terhadap masyarakat Indonesia tidak sedikit. Karya-karya dalam bentuk tulisan serta kader-kader yang beliau hasilkan yang banyak mewarnai pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia merupakan bukti konkrit yang dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat Indonesia banyak berhutang budi kepada ulama yang sangat tawadlu ini. Tulisan yang sangat sederhana ini tentunya tidak mumpuni untuk mewakili gambaran yang sebenarnya dari ulama abad ke-19 ini. Masih harus diperdalam lagi studi tentang tokoh kita ini. Wallahu A’lam bishshawab.
Senin, 06 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar