Muhammad Yasin
Jika ditelusuri perkembangan tafsir al-Qur’an sejak dahulu sampai sekarang, maka dapat ditemukan bahwa penafsiran al-Qur’an secara garis besar ditempuh melalui empat metode, Metode tafsir yang dimaksud disini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Qur’an. Ke empat metode tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Metode Ijmali (global)
Metode ini menjelaskan ayat-ayat al Qur’an secara ringkas tetapi mencakup dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistem penulisan metode ijmali menuruti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Di samping itu, penyajiannya tidak terlau jauh dari
2. Metode Tahlili (analisis)
Metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam metode ini, biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang didukung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakat, konotasi kalimat, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya. Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang teramat luas. Metode tafsir ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuk, yaitu ma’tsur dan ra’yi dapat lagi dikembangkan dalam berbagi corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing.
3. Metode Muqarran
Metode muqarrin atau muqarran adalah suatu metode tafsir yang menggunakan cara perbandingan. Metode ini bermaksud menemukan dan mengkaji perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur yang diperbandingkan, baik untuk tujuan menemukan unsur yang benar diantara yang kurang benar, ataupun untuk tujuan memperolah gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang dibahas dengan jalan penggabungan (sintesis) unsur-unsur yang berbeda itu.[1]
Unsur-unsur yang diperbandingkan dapat dikatagorikan ke dalam tiga kelompok :
Pertama, unsur ayat (al-Quran) dengan ayat. Kelompok ini terbagi menjadi dua :
- unsur ayat dengan ayat lainnya yng membahas kasus yang sama, tapi dengan redaksi yang berbeda.
- Unsur ayat dengan ayat lainnya yang membahas kasus yang berbeda, tapi dengan redaksi yang mirip.
Kedua, unsur ayat dengan unsur hadits yang membahas kasus yang sama, tapi dengan pengertian yang tampak berbeda, atau malah bertentangan.
Ketiga, unsur penafsiran mufassir tertentu dengan mufassir lainnya mengenai ayat-ayat al-Quran yang sama.[2]
Latar belakang munculnya metode ini yaitu, pembandingan unsur ayat dengan ayat lainnya, sedikit banyak sejalan dengan latar belakang atau motif yang memunculkan metode munasabat, atau mungkin juga metode maudhu’i. hal ini berhubungan dengan dua sifat al-Quran : pertama, al-Quran mengkalim sebagai suatu kitab yang mencakup segala sesuatu (Q.S. 2:38). Kedua, al-Quran juga mengklaim sebagai suatu kitab yang bebas dari kontradiksi (Q.S. 4:82). Karena itu setiap perbedaan redaksi tidak boleh mengimplikasikan perbedaan makna, atau ia dimaksudkan untuk dua makna yang tidak saling terkait, atau ia harus dibuktikan tidak saling bertentangan.
Manfaat tafsir muqarran adalah memperoleh pengertian yang paling tepat dan lengkap mengenai masalah yang dibahas, dengan jalan melihat perbedaan-perbedaan diantara berbagai unsur relevan yang diperbandingkan. Sedangkan manfaat khususnya adalah :
Pertama, dalam perbandingan ayat dengan ayat, metode ini memusatkan perhatian pada penggalian hikmah di balik variasi redaksi ayat untuk kasus yang sama dan pemilihan redaksi yang mirip untuk kasus yang berbeda.
Kedua, dalam perbandingan ayat al-Quran dengan hadis, jika pada perbandingan ayat dengan ayat dapat menggali kedua unsure yang diperbandingkan, maka dalam metode ini dapat digali dari salah satu unsur saja, yaitu unsur ayat.
Ketiga, dalam perbandingan unsur penafsiran seorang mufassir dengan mufassir lainnya, ada beberapa manfaat yang dapat dipetik :
- mengetahui orisinalitas penafsiran seorang mufassir.
- Dapat mengungkap kecenderungan mufassir, baik kecenderungan madzhab, sektarian, keilmuan, konteks zamani dan lain sebagainya.
- Dapat mengungkap kekeliruan seorang mufassir, sekaligus mencari pandangan yang paling mendekati kebenaran.
- Dapat mengungkap sumber-sumber perbedaan pendapat di kalangan mufassir, ataupun perbedaan pendapat di antara berbagai kelompok umat Islam.
- Dapat menjadi sarana bagi pendekatan diantara berbagai ulama tafsir.
- Dapat membawa kepada pemahaman yang lebih lengkap mengenai kandungan ayat-ayat al-Quran, dengan menggabungkan berbagai pemahaman ulama tafsir dari berbagai aliran tafsir.
4. Metode Maudhu’I (tematik)
Metode ini membahas ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti kosakat. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-Quran, hadis, maupun pemikiran rasional. Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini adalah menonjolkan tema, judul, atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini disebut metode topikal.[3]
Metode maudhu’i muncul karena terinspirasi dari wacana keislaman yang mengfokuskan pada tofik tertentu dengan landasan-landasan yang diambil dari al-Quran, wacana tersebut berupa karya tulis, diantaranya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar’ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran karya Al-Maududi.
Metode Maudhu’I pertamakali dikenalkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Mesir sampai tahun 1981. Beberapa dosen Tafsir di universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i li Al-Ayat al-Qur’aniyyah dalam dua jilid yang kemudian disusul oleh Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar dengan menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’I Pada tahun 1977.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk melakukan metode maudhui adalah :
- Penetapan masalah yang dibahas
- Menulis runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya
- Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan al-Quran
- Memasukan asbabun Nuzul
Keistimewaan metode ini adalah
a) menghindari problem atau kelemahan metode lain yang digambarkan dalam uraian di atas;
b) menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran;
c) kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan al-Quran. Selain itu,
d) metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar